DomaiNesia

Senin, 26 Juli 2021

Memperbaiki Sikap Dalam Mengurus Keuangan

Memperbaiki Perilaku dalam Mengelola Keuangan

JakartaJudul: The Psychology of Money: Pelajaran Abadi mengenai Kekayaan, Ketamakan, dan Kebahagiaan; Penulis: Morgan Housel; Penerjemah: Zia Anshor; Penerbit: Baca, Mei 2021; Tebal: 238 Halaman

Kepedulian penduduk kita mengenai finansial sepertinya mulai meningkat. Hal ini sanggup dilihat dari hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mereka melaporkan bahwa pada 2019, indeks literasi keuangan penduduk Indonesia meraih 38,03%. Angka ini naik dibanding 2016 yang cuma sebesar 29,7%.

Peningkatan ini juga terlihat dari kian banyaknya informasi dan edukasi mengenai keuangan yang timbul di banyak sekali media. Di media sosial, ada banyak akun yang membahas mengenai bagaimana mengendalikan dan mempersiapkan keuangan. Begitu pula di media cetak, baik itu dalam bentuk majalah dan buku.

Bicara mengenai buku, baru-baru ini ada satu buku yang cukup terkenal mengenai keuangan. Buku tersebut berjudul The Psychology of Money yang ditulis oleh Morgan Housel. Ia merupakan mantan kolumnis di The Wall Street Journal dan The Motley Fool (perusahaan yang memamerkan nasihat keuangan dan investasi). Berbeda dengan buku-buku finansial lainnya, buku yang sudah mendapat predikat international bestseller ini berkonsentrasi pada faktor yang lebih mendasar, yakni mengenai bagaimana psikologi insan saat berhadapan dengan uang.

Pengambilan sudut pandang yang demikian bermula saat ia menulis pertama kali mengenai keuangan pada 2008. Saat itu krisis ekonomi tengah berkecamuk. Terhadap kejadian tersebut, para piawai condong menganalisisnya dengan menggunakan teori dan aturan ekonomi semata. Akibatnya, klarifikasi mereka menjadi terlampau mekanistik dan abai kepada tabiat insan selaku pelaku utama.

Bagi Housel, balasan mereka yang demikian itu hasilnya menjadi kurang memuaskan. Ia kemudian mengajukan tesis yang berbeda; ia meyakini bahwa akar permasalahan ekonomi sejatinya terletak pada sikap dan tata cara berpikir insan (psikologis). Pandangannya tersebut bertahan hingga sekarang, dan premis buku ini merupakan mengenai itu.

Housel mengatakan, "Mengelola duit dengan baik tidak ada relevansinya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak bermitra dengan sikap Anda." Dalam kendala yang lebih konkret, ia menjelaskan, "Untuk mengerti mengapa orang terjebak utang, Anda tak perlu belajar suku bunga; Anda perlu belajar sejarah ketamakan, kegelisahan, dan optimisme."

Jadi, mengerti psikologi insan saat menggunakan dan mengurus duit merupakan hal mendasar sebelum kita mengatakan mengenai taktik dan teori keuangan.

Kaya dan Kekayaan
Buku ini berisikan dua puluh bab. Tulisan dalam setiap babnya ringkas, sederhana, dan sering dibubuhi dengan cerita. Gaya goresan pena yang demikian menjadikannya menjadi mudah untuk dipahami. Meski begitu, tulisannya ditopang dengan argumen-argumen yang cukup kuat.

Pertama-tama, dalam buku ini Housel menerangkan bahwa setiap orang memiliki set nilai yang berlainan mengenai cara kerja uang. Perbedaan ini dipengaruhi oleh pengalaman, situasi, dan keadaan kehidupan mereka. Oleh alasannya merupakan itu, kita sanggup menyaksikan betapa beragamnya cara insan dalam menatap dan mengurus duit mereka. Bahkan, sikap mereka bisa terlihat tidak masuk nalar dibanding dengan opsi kita ataupun orang lain. Begitu pula sebaliknya.

Hal mendasar yang lain yang penting dari buku ini merupakan saat mengatakan mengenai fungsi uang. Saat kita berusaha menghimpun uang, yang sejatinya ingin kita miliki merupakan waktu dan pilihan. Apabila kita memiliki persediaan duit yang cukup, kita lantas punya kontrol atas waktu. Kita juga menjadi bebas untuk mengerjakan apa yang ingin kita lakukan. Oleh karenanya, kita perlu memiliki kekayaan. Namun, mesti dimengerti apalagi dulu bahwa Housel membedakan antara apa itu "kaya" dan "kekayaan".

Ini menarik. Bagi Housel, kaya "merujuk pada pemasukan sekarang." Sementara kekayaan merupakan "pendapatan yang tak dibelanjakan." Kaya terkait dekat dengan apa yang terlihat: rumah, kendaraan, perhiasan, dan sebagainya walaupun itu semua hasil dari utang. Sebaliknya, kekayaan merupakan aset finansial yang tak terlihat dan belum menjadi barang.

Ketika kita selesai dengan rancangan kaya dan kekayaan, kita jadi tahu bahwa yang mesti diraih bahu-membahu merupakan kekayaan, bukan kaya. Sementara itu, untuk bisa meraih kekayaan, dikehendaki kesanggupan untuk menahan diri, bersedia menabung, dan berinvestasi. Bukan malah menghambur-hamburkan duit yang ditemukan cuma untuk terlihat kaya di hadapan orang lain.

Untuk bisa hingga pada tahap itu, kita mesti tahu batas, alias tahu kapan mesti berkata cukup. Dengan merasa cukup, kita akan terhindar dari kehendak untuk berlebih-lebihan dalam menggunakan uang. Dengan merasa cukup, kita sanggup menyaksikan secara jernih mana yang sungguh-sungguh kita perlukan dan mana yang tidak. Sehingga, sisa duit yang tidak digunakan sanggup menjadi dana simpanan dan investasi.

Ketika kita hendak melangkah ke tahap menabung dan berinvestasi, kita mesti percaya kepada kekuatan penumpukan. Housel menyarankan bagi siapa pun yang mau menabung dan menginvestasikan uangnya untuk memiliki keyakinan ini. Ia mencontohkan bagaimana Warren Buffet, penanam modal yang terkenal itu, kesukesannya dalam dunia investasi didasarkan pada kekonsistenannya. Buffet sudah mengawali seluruhnya sejak kecil. Lamanya waktu yang ia jalani inilah yang melahirkan penumpukan. Dan penumpukan itulah yang kemudian memberinya kekayaan.

Ini juga berlaku dalam menabung. Kata Housel, menabung bukan mengenai besarnya nilai nominal yang kita masukkan, melainkan kekonsistenan kita. Meski duit yang ditabung nilai nominalnya kecil, jikalau konsisten, penumpukan akan terjadi.

Pada akhirnya, beberapa sikap itu perlu ditumbuhkan demi meraih kekayaan. Sementara itu, apabila sikap kita berkebalikan dengan yang di atas: tidak pernah merasa cukup, senang pamer, dan tidak percaya pada penumpukan, kacaulah keadaan keuangan kita.

Kekayaan perlu diraih agar kita punya kontrol atas kehidupan kita. Atas apa yang ingin kita kerjakan. Atas waktu yang ingin kita gunakan. Karena faedah inilah yang menghasilkan hidup kita menjadi lebih suka dan sejahtera. Jangan hingga keuangan kita lemah sehingga kita tidak mendapat laba di atas. Namun, jangan pula keinginan untuk menguruk kekayaan menjadi berlebihan sehingga fungsi dari duit tidak sanggup kita rasakan.

Dalam buku ini, masih banyak lagi sikap dan tata cara berpikir yang mesti kita miliki untuk menjadi pengurus keuangan yang baik. Misal, bagaimana seharusnya kita menyaksikan kesuksesan dan kegagalan, merespon labilnya kita dalam kehidupan dan keuangan, hingga mengantisipasi gemarnya kita menggandakan sikap orang lain dalam menggunakan duit (khususnya saat berinvestasi).

Akhirnya, buku ini sungguh diusulkan bagi siapa pun yang ingin memperbaiki keadaan keuangan mulai dari level yang paling dasar, yakni dari sikap dan tata cara berpikir kita. Selamat membaca.

Ahmad Yazid
pengajar di IAIN Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

6 Fakta Ngeri Lebanon Didera Krisis Ekonomi Bagai Neraka

Krisis Ekonomi di Lebanon (Foto: Pool) Jakarta - Situasi krisis ekonomi di Lebanon kian parah hingga menghasilkan negara ini disebut baga...